{Life List} : Catatan Untuk Ayah

Terlalu lama hiatus dari rumah ini ternyata gak menyenangkan ya? Jadi banyak ‘nyampah’ di tempat lain. Apalagi setelah ketemu Mba Psikolog waktu tes STIFIN dan diarahkan untuk ga curhat ke orang lain dulu kalau ada hal yang bikin emosi. Why? Karena, sebagai anak Thinking Introvert yang mudah tersulut kalau curhat sama orang yang salah, nanti beban otakku akan bertambah. Kami para Ti memang ndak baperan, ndak peka tapi over-thinking. Alhasih setiap kejadian akan dipikir. Sebelum ketemu STIFIN, aku pikir yang memang akunya aja yang lebay. Ternyata setelah test, it’s part of my DNA. Kapan-kapan aku bahas soal tes STIFIN ini ya.

Sekarang mau cerita tentang Life List yang bisa aku coret. Yaitu menerbitkan buku. Mungkin buat sebagian orang, buku ini biasa saja karena toh ini buku antologi yang berarti bukan sepenuhnya karyaku. Buku ini kumpulan tulisan dari beberapa orang yang bahkan tidak aku aku kenal sebelumnya. Tapi untukku, buku ini sesuatu yang luar biasa.

Luar biasa karena ini hasil dari aku belajar mengenali perasaanku, dan membiarkannya muncul ke permukaan. Buku ini tentang perasaanku kepada lelaki yang menjadi segala yang pertama bagiku. Cinta pertama, senyum pertama, tangis pertama, juga patah hati pertama. Buku ini tentang rasa kepada Papa. Lelaki yang sudah lama tidak kujumpai. Beliau masih hidup dan aku bersyukur untuk itu. Sangat. Sayangnya ada bagian dari kisah kami yang terlalu rumit dan terlalu kusut untuk diurai. Maka ketika dengan kesadaran penuh, memutuskan mencari tahu sentang perasaanku, aku bersiap untuk segala kemungkinan dan masukan. Termasuk mencari bantuan profesional dan mendengarkan semua saran dan masukan. Pun ketika menemukan komunitas INI KREATIF disalah satu sosial media, kemudian mendapati bahwa salah satu tema yang diangkat adalah tmemutuskan untuk ambil bagian dengan komunitas INI KREATIF, harapanku tidak muluk-muluk. Hanya ingin bisa memeluk semua luka hatiku sebelum kemudian melanjutkan perjalananku.

Sungguh ketika menulis ini, gak ada ekspektasi apapun. Aku ingat kala itu, Mba Ratna selaku mentor memberi satu contoh tulisan, kemudian memberi waktu tujuh hari untuk kami menyetorkan tulisan yang bertemakan ‘AYAH’ dan aku menyerahkan si tulisan ini dihari terakhir. Terasa seperti kuliah ya, mengerjakan tugas didetik-detik terakhir. Agak berat menuliskan kisah ini. Antara ingin jujur sebagai bagian dari self-healing sama takut ‘telanjang’ karena merupakan pengalaman hidup. Menceritakannya berarti membuka lapisan diri dan mengijinkan orang lain untuk melihatnya. Tidak sekedar melihat, tetapi juga membuka peluang bagi orang lain untuk menilai atau mungkin menghakimi.

Menjadi lebih berat ketika mendapat berita bahwa tulisanku lolos kurasi tanpa revisi. Itu berarti, tulisan ini akan menjadi salah satu tulisan yang masuk ke dalam buku. Bangga karena tidak menyangka, senang karena ternyata ‘eh aku bisa nulis nih’ bercampur dengan ragu, karena jika membiarkan orang (teman-temanku) tau tentang buku ini, ada kemungkinan mereka ingin membeli (ish pede ya) dan pada akhirnya ada kisahku yang selama ini tidak mereka tahu, terkuak. Dilema ya?!

Salah satu sahabatku bilang, ‘Jangan merasa ini aib. Pengalaman ini yang menjadikan lo sekuat sekarang. Biarkan orang lain belajar dari lo dan mungkin bisa menghindari kesalahan yang pernah lo buat.’ Untungnya, penerbitan buku ini self-publish jadi tidak bisa didapat di toko buku. Kebanyakan yang memesan ya teman baikku yang memang tau sebagian kecil perjalananku. Aku anggap ini sebagai bentuk dukungan mereka kepadaku. Tapi tetap saja mereka kaget dengan kenyataannya. Ada yang mengirimkan pesan tengah malam, cuma untuk bilang kalau dia menangis sampai dadanya sesak setelah membaca ceritaku. Maaf ya.

Buku ini, menutup 2019-ku dengan luar biasa. Perjalanan self-healing ini baru dimulai dan akan tetap berproses sampai aku bisa menjadi sebaik-baiknya aku sebagai manusia.

Love,

{Life List}: I made it!!

May 13, 2018 Sitting in this big hall, waiting anxiously. Two of my good friends are here with me. I don’t know how are they feeling but for me, seems that I can’t get rid off these butterflies in my tummy. My mom and my brother are here with me too. I wish my dad is here, but hey, sometimes you just have to cope and make a peace with life. 2 out of 3 family members is much better than none, right?! Hours went by. They already say their speech. The choir already sing their song. And we already sing our national anthem – which off course make me cry a bit. Now, they started to call out our name. We can even see out picture on the big screen up above. I finally hear my name. I couldn’t think of anything else but walking straight to my Dean while casting my mantra ‘Please, don’t let me stumble and fall.’ And I didn’t. I made it. After hundreds of tasks, tests, home-works, discussions, debates, laugh and tears within four years, I finally here. After three times reading Min Jin Lee’s ‘Pachinko’, six times of counseling with my mentors, countless revision, I finally here. This achievement is for my parents. A gift for their unconditional love. This achievement is for my friends who supported me in many different way. This achievement is for me. Simply because I allow myself to believe in me. One dream, one goal achieved. Now let me set another goal.

My Pray for You

Dear You,

It’s been been quite a journey so far.

You’ve been through so many ups and down. Bitter and sweet yet never sour.

Today,

Allow me to pray just for you.

I pray that you’ll smile more often. I pray that you trust yourself. Enough to make decisions with clear mind and objectivity. I pray for your heart. May it never turn to stone. I pray for your existence. May you never hurt and belittle other. I pray for your soul. May you alway have the ability to see the kindness in others. I pray for your inner child. May she knows that she always be loved. No matter what.

Dear You,

The girl in the mirror. May you always have your faith in Allaah. Now and forever.

With Love,

Me. Your reflection in the mirror.